Beranda | Artikel
Hukum Jualan Di Trotoar
Kamis, 11 Oktober 2018

Hukum Jualan Di Trotoar

Bagaimana hukum jualan di trotoar? Terutama bagi para pedagang kaki lima…

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ada 3 hal yang perlu dibedakan,

[1] Memiliki

[2] Menguasai

[3] Memanfaatkan

Tidak semua yang kita miliki bisa kita kuasai, sebagaimana tidak semua yang kita kuasai, kita miliki.

Contoh yang kita miliki tapi tidak kita kuasai adalah rumah yang kita kontrakkan. Rumah itu milik kita, namun sedang dikuasai oleh orang yang sedang me-ngontrak rumah itu.

Contoh yang kita kuasai namun tidak kita miliki, barang gadai yang kita bawa. Barang ini milik orang yang menggadaikan, meskipun selama agunan itu berada di tempat kita, maka kita yang menguasainya.

Berbeda lagi dengan memanfaatkan. Orang bisa memanfaatkan, meskipun dia tidak memiliki, maupun menguasai. Dia hanya bisa memanfaatkan.

Fasilitas umum milik negara, diatur oleh pemerintah dan digunakan untuk kemanfaatan rakyatnya. Sehingga setiap orang berhak untuk memanfaatkannya.

Ibnu Qudamah menjelaskan,

وما كان من الشوارع والطرقات والرحاب بين العمران، فليس لأحد إحياؤه، سواء كان واسعا أو ضيقا، وسواء ضيق على الناس بذلك أو لم يضيق؛ لأن ذلك يشترك فيه المسلمون، وتتعلق به مصلحتهم، فأشبه مساجدهم.

Jalan umum, lorong, atau lapangan di tengah kota, tidak berhak bagi siapapun untuk mengelolanya (dengan ditanami). Baik tempatnya luas maupun sempit. Baik mengganggu orang lain maupun tidak ganggu. Karena tempat ini milik bersama kaum muslimin. Sehingga pemanfaatannya dikembalikan untuk kemaslahatan mereka, sebagaimana masjid.

Kemudian Ibnu Qudamah menegaskan,

ويجوز الارتفاق بالقعود في الواسع من ذلك للبيع والشراء، على وجه لا يضيق على أحد، ولا يضر بالمارة؛ لاتفاق أهل الأمصار في جميع الأعصار على إقرار الناس على ذلك، من غير إنكار، ولأنه ارتفاق مباح من غير إضرار، فلم يمنع منه، كالاجتياز

Dan boleh memanfaatkannya dengan menduduki tempat umum yang luas untuk jual beli, selama tidak mengganggu orang lain, dan tidak mengganggu pengguna jalan. Karena penduduk berbagai daerah di sepanjang zaman sepakat dengan praktek masyarakat dalam masalah ini, tanpa ada pengingkaran. Dan karena ini adalah pemanfaatan yang mubah dan tidak membahayakan, sehingga tidak perlu dilarang sebagaimana orang yang lewat.

Selanjutnya, Ibnu Qudamah menyebutkan keterangan Imam Ahmad,

قال أحمد، في السابق إلى دكاكين السوق غدوة: فهو له إلى الليل. وكان هذا في سوق المدينة فيما مضى

“Orang yang paling pagi datang untuk membuka lapak di pasar, maka dia berhak menggunakannya sampai malam.” Dan ini terjadi di pasar Madinah di masa silam.

Diantara dalil yang dibawakan Ibnu Qudamah adalah hadis dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau menawarkan,

Ya Rasulullah, maukah kami bangunkan untuk anda tempat di Mina untuk tempat anda bisa berteduh dan bermalam di sana?

Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا مِنًى مُنَاخُ مَنْ سَبَقَ

“Jangan… Mina adalah tempat untuk berdiam bagi orang yang datang lebih awal.” (HR. Tumudzi 881, Ibn Majah 3006, dan dihasankan oleh Husain Salim ad-Darani).

Beliau menolak tawaran itu, karena semua wilayah Mina untuk kepentingan bersama bagi jamaah haji. Sehingga tidak boleh ada bangunan yang permanen, yang akan menguasai sebagian wilayah milik umum.

Dari penjelasan beliau menunjukkan, bahwa sebatas memasang lapak di tempat umum untuk jualan bukan termasuk menguasai, namun masuk dalam kategori memanfaatkan. Dan siapa yang pertama menduduki, dia yang paling berhak.

Selanjutnya, jika dia pindah, TIDAK boleh ke orang lain. Jika dijual, berarti dia menguasai tempat itu tanpa hak.

Ibnu Qudamah mengatakan,

والسابق أحق به ما دام فيه، فإن قام وترك متاعه فيه، لم يجز لغيره إزالته؛ لأن يد الأول عليه، وإن نقل متاعه، كان لغيره أن يقعد فيه؛ لأن يده قد زالت

Orang yang pertama, dia yang paling berhak dengan tempat itu, selama dia berada di sana. Jika dia pergi, namun barangnya masih ditinggal, maka orang lain tidak boleh memindahkannya. Karena hak orang yang pertama, masih ada di tempat itu. Namun jika dia pindahkan barangnya, maka orang lain memiliki hak untuk menempatinya, karena hak orang yang pertama sudah tidak ada. (al-Mughni, 5/426)

Dari keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan beberapa ketentuan berjualan di tempat umum,

[1] Tempat itu milik umum, bukan milik pribadi

[2] Siapa yang duluan, dia yang paling berhak untuk menempati dan memanfaatkan lahan

[3] Tidak boleh dibangun bangunan yang permanen. Membuat bangunan permanen di tempat umum, termasuk bentuk menguasai fasilitas umum.

[4] Jika orang yang menggunakannya meninggalkan tempat, namun barangnya masih di tempat itu, maka dia yang lebih berhak untuk mendudukinya kembali.

[5] Jika orang yang menggunakannya meninggalkan tempat berikut membawa semua barangnya, maka orang lain berhak untuk menggunakannya.

[6] Orang yang meninggalkan tempat itu, tidak berhak menjual tempat yang dia tinggalkan kepada orang lain.

Demikian, Semoga bermanfaat.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/33415-hukum-jualan-di-trotoar.html